MAKALAH
TA’ARUDH AL ADILLAH DAN CARA
PENYELESAIANNYA
Makalah
ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh II
Dosen Pembimbing:
Jamhuri,
M.PdI
Nama Anggota:
Zainuri
NIM
2011.86.22.0014
Emiliya Mukmilah
NIM
2011.86.22.0004
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita
mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan
menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan satu
dengan yang lain.
Islam adalah agama yang memiliki hukum yan
kontratietas antara yang satu dengan yang lain sehingga banyak ulama-ulama yang
menyimpulkan hukum dengan pemikirannya sendiri tapi semua itu tidak lepas dari
dasar yang awal atau dari asal mula hukum tersebut seperti halnya dalam
membahas ushul fiqih kita mungkin bahkan sering menemukan ke kontratietas
tersebut.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu
karena faktor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui.
Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat,
dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian Ta’arud Al-Adillah?
2. Bagaimana
cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah?
1) Menurut
Hanafiyah
2) Menurut
Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui
definisi dari Ta’arud Al-Adillah
2. Mengetahui
cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
1) Cara
penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Hanafiyah
2) Cara
penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ta`ârudh al-adillah
Secara etimologi, ta'ârudh berarti
"pertentangan" dan adillah adalah jamak dari dalil yang berarti
"alasan, argumen dan dalil." Persoalan ta'ârudh al-adillah dibahas
para ulama dalam ilmu ushul fiqh, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir
antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang
dikemukakan para ulama ushul fiqh tentang ta'ârudh al-adillah:
1) Imam
al-Syaukani, mendefinisikannya dengan "suatu dalil menentukan hukum
tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang
berbeda dengan itu."
2) Kamal
ibn al-Humam (790-861 H/1387-1456 M.) dan al-Taftazani (w. 792 11.), keduanya
ahli fiqh Hanafi, mendefinisikannya dengan "pertentangan dua dalil yang
tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya."
3) Ali
Hasaballah (ahli. ushul fiqh kontemporer dari Mesir) mendefinisikannya dengan
"terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat".
Pengertian satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara Sunnah
dengan Sunnah.
2.2 Cara penyelesaian Ta`ârudh
al-adillah
Apabila dhahir (formal)-nya dua nash yang
bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan
dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar diantara cara-cara
mengumpulkan dan mengkompromikan dua nash yang kontradiksi. Jika tidak mungkin,
wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan cara
diantara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui
sejarah datangnya, maka ditangguhkan dua nash itu.
Apabila dua qiyas atau dua dalil yang bukan termasuk
dua nash yang bertentangan, dan tidak mungkin mengutamakan salah satunya, maka
dihindarilah mengambil dalil kedua qiyas atau kedua dalil itu. Kontradiksi
diantara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah kontradiksi salah-satu
diantaranya kepada yang lain.dan kontradiksi dua dalil syara’, artinya menurut
istilah ulama ushul ialah penetuan dari salah satunya dalam waktu terhadap
suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan hukum yang ditentukan oleh
dalil lain mengenai peristiwa itu.
Kontradiksi antara dua dalil syara’ tidak akan
terjadi kecuali apabila dua dalil itu sama kuatnya. Adapun salah satu dalil itu
lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti ialah hukum yang dikehendaki
oleh dalil yang lebih kuat, dan diabaikanlah huikum yang kontradiksi dengannya
yang dikehendaki oleh dalil lain. Dengan Demikian tidak akan terjadi
kontradiksi antara nash qoth’i dan zhonni, antara nash dan ijma’ atau qiyas,
dan antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu dapat terjadi antara dua ayat, atau
dua hadits yuang mutawatir, atau antara ayat dan hadits mutawatir, atau dua
hadits yang tidak mutawatir, dan atau antara dua qiyas.
Apabila seorang mujtahid menemukan adanya dua dalil
yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara penyelesaiannya. Kedua
cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama
Syafi'iyyah.
1. Menurut
Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah
mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut
dengan cara:
1) Nasakh
Naskh adalah membatalkan hukum yang ada
didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda
dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk
mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya satu
dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya, maka yang ia ambil adalah dalil
yang datang kemudian.
Dalam kasus pertentangan ayat yang
berbicara tentang ‘iddah wanita di atas,misalnya, menurut Jumhur ulama,
‘Abdullah ibn Mas’ud (sahabat) meriwayatkan bahwa ayat kedua, yaitu yang
menyatakan bahwa ‘iddah wanita hamil sampai melahirkan (al-Thalaq, 65:
4),datang kemudian dibanding ayat dalam surat al-Baqarah, 2: 234 yang
menyatakan bahwa wanita kematian suami ‘iddahnya 4 bulan 10 hari. Oleh sebab
itu, ayat 4 suratal-Thalaq me-naskh-kan (membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari
untuk wanita hamil yang tercantum dalam ayat 234 suratal-Baqarah.
2) Tarjih
Tarjih
adalah menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut
berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya. Apabila masa turunnya/datangnya
kedua dalil tersebut tidak diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan
tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi, dalam
melakukan tarjih itu pun mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan
lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu, bisa
dilakukan dari tiga sisi:
A. Penunjuk
kandungan lafal suatu nash. Contohnya, menguatkan nash yang muhkam (hukumnya
pasti) dan tidak bisa di-naskh-kan (dibatalkan) dari mufassar (hukumnya pasti
tetapi masih bisa di-naskh-kan).
B. Dari
segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum
haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
C. Dari
sisi keadilan periwayat suatu hadits.
3) Al-Jam'u
wa al-Taufiq
Al-Jam'u
wa al-Taufiq yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian
mengkompromikannya. Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan,
maka menurut ulama Hanafiyyah dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan.
Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena
kaidah fiqh mengatakan, "mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain." Misalnya:
Artinya :
“ diharamkan bagi kamu bangkai dan darah....” (QS.
al-Maidah ayat 3)
Dalam
ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir
dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Kemudian
dalam ayat lain lebih dispesifikan, Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
Artinya :
“.....kecuali
( yang diharamkan itu ) bangkai dan darah yang mengalir...” ( Al-An’am : 145 ).
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa
darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang
diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah
yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara
dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
4) Tasaqu
al Dalalain
Tasaqu
al Dalalain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Metode ini
digunakan mujtahid ketika ketiga metode sebelumya tidak dapat menyelesaikan
pertentangan antara dalil tersebut. Dengan mengguakan metode ini, berarti
mujtahid menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan ia mencacri dalil lain
yang secara kualitas berada dibawah dalil yang bertentangan itu. Penggunaan
metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara
berurutan dari cara pertama sampai dengan cara keempat.
Tegasnya, apabila bertentangan ayat al
Qur’an dengan ayat al Qur’an lalu keduanya tidak bisa dinaskh atau ditarjih
atau dikompromikan, maka mujtahid boleh beralih kepada dalil yang kualitasnya
dibawah al Qur’an, yaitu hadits. Apabila bertentangan hadits dengan hadits,
seorang mujtahid dapat beralih mengambil pendapat sahabat atau menggunkan qiyas
bagi yang tidak memakai pendapat sahabat sebagai dalil.
Adapun contoh penggunaan metode ini
dapat diamati dari kaifiyat shalat khusuf. Bahwa Nabi SAW. melakukan shalat
khusuf sebagaimana kamu melakukan shalat sunat biasa, yaitu dengan satu rakaat
dengan satu kali sujud (HR. Abu Daud dan Nasa’i), dalam hadits lain dicontohkan
nabi SAW melalui sunnah fi’liyyah tentang cara shalat khusuf; Bahwa Rasulullah
SAW, melakukan shalat khusuf dua rakaat dengan empat kali ruku’ dan empat kali
sujud (HR. Imam yang Enam)
Dalam hadits ini tak ada murajjih
(menguatkan) salah satu dari kedua hadits itu. Ulama’ Hanafi tidak memakai
kedua hadits ini, tetapi mereka menggunakan qiyas untuk menetapkan tata cara
shalat khusuf. Mereka mengqiyaskan pelaksanaan shalat kusuf kepada
shalat-shalat lainnya.
2. Menurut
Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang
bertentangan menurut ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Zhahiriyyah adalah
sebagai berikut:
1) Jam'u
wa al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah dan
Zhahiriyyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah
mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut; sekalipun dari satu sisi
saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh yang dikemukakan Hanafiyyah di atas
yaitu "mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah
satu diantaranya." Mengamalkan kedua dalil; sekalipun dari satu segi,
menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
A. Apabila
keduahukum yang bertentangan itu bias dibagi, maka dilakukan cara pembagian
yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang saling menyatakan bahwa rumah “A”
adalah miliknya maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan,
karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, karena barang
yang dipersengketakan adalah barang yang bias dibagi, maka penyelesaiannya adalah
dengan membagi dua rumahtersebut.
B. Apabila
hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah
saw. yang menyatakan:
Artinya:
Tidak
(dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. (H.R. Abu Daud dan
Ahmad ibn Hanbal)
Dalam
hadits ini ada kata "la" yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian
banyak, yaitu bisa berarti "tidak sah," bisa berarti "tidak sempurna"
dan bisa berarti "tidak utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid
boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain
C. Apabila
hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus
'iddah bagi wanita hamil di atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam
hadits di atas. Surat al-Baqarab, 2: 234 bersifat umum dan surat al-Thaldq, 65:
4 bersifat khusus, maka dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya
berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara
ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.
2) Tarjih
Tarjih
adalah menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan karena ada indikator
yang mendukungnya. Metode ini digunakan mujtahid manakala pengkompromian antara
dalil yang bertentagan tidak dapat dilakukan. Upaya mentarjih ini dapat
dilakukan dengan empat cara; mentarjih dari sisi sanad, mentarjih dari sisi
matan, mentarjih dari sisi hukum dan mentarjih dari sisi lain diluar nash.
Mentarjih dari sisi sanad adalah khusus untuk menyelesaikan pertentangan dalil
yang terjadi pada sunnah atau hadits. Sementara cara tarjih yang lainnya dapat
digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi pada al-Qur’an,
Sunnah dan Ijma’.
3) Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil
tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan
membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat
harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang
kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti
sabda Rasulullah saw.:
Artinya:
Saya
melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah. (H.R.
Muslim).
Dalam
hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir.
Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah
dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan dilihat Nabi
saw. tidak ada lagi.
4) Tasâqut
al-Dalîlain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun
tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu
dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang
bertentangan tersebut.
Menurut ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah
dan Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid
dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai
berikut :
A. Pertentangan
antara Al-Qur’an dan Al-Qur’an. Ada yang memandang bahwa di antara ayat-ayat
Al-Qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjadi karena keterbatasan
akal manusia. Padahal, tidak satupun ayat yang saling bertentangan, yang ada
adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau saling menjelaskan.
B. Petentangan
antara Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini adalah pandangan bahwa kedudukan Al-Qur’an
harus sama dengan As-Sunnah, padahal tidak demikian. Yang harus ada bahwa
As-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an kedudukanya lebih tinggi dari
As-Sunnah. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari keduanya,
kecuali As-Sunnah yang kualitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matanya.
C. Pertentangan
antara As-Sunnah dan As-Sunnah.
D. Pertentangan
antara As-Sunnah dan akal.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara etimologi, ta'ârudh berarti "pertentangan"
dan adillah adalah jamak dari dalil yang berarti "alasan, argumen dan
dalil." Persoalan ta'ârudh al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul
fiqh, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan
dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa
definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh tentang ta'ârudh al-adillah:
·
Imam al-Syaukani, mendefinisikannya
dengan "suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan
sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu."
Apabila seorang mujtahid menemukan
adanya dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara
penyelesaiannya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama
Hanafiyyah dan ulama Syafi'iyyah.
·
Menurut Hanafiyyah
Hanafiyyah mengutamkan
metode naskh dari pada tarjih, al jam’u wa al taufiq dan tasyaq al dalilaini.
·
Menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah dan
Zhahiriyyah
Mengutamakan metode Jam'u wa al-Taufiq,
Tarjih, Naskh, Tasâqut al-Dalîlain.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal
sebagai berikut :
1. Petentangan
antara Al Qur’an dengan Al- Qur’an.
2. Petentangan
antara Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3. Pertentangan
antara As-Sunnah dan As-Sunnah.
4. Pertentangan
antara As-Sunnah dan akal.
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, 2004, Ushul
Fiqh, Jakarta; Zikrul Hakim
Al Qatam, Manna Khalil,
2007, Mabahits fi Ulumil Qur’an, Bogor; PT Pustaka Linera Antar
Nusa,
Khallaf, Abdul Wahab,
1993, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta; Rajawali Pers.
Baidhhowi, Ahmad, 2005,
Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, Bandung;
Nuansa.
Usman, Muhlish, 1997,
Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Jakarta; PT. Rajawali
Grafindo.
Al-Quran
Al-Karim
Chaerul
Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fikih II, Bandung : Pustaka Setia, 1998
Dr. H. Sidi Nazar
Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2003. Cet
ke
3.
Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Firdaus. Ushul Fiqh
(Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.
Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004.
Imam
Syafi’i. Ar-Risalah. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Prop.DR.Rachmat
Syafe’i.2010.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:CP Pustaka.
Prop.DR.Muchlis
Usman,2002.Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah:jakarta:raja Grafindo
Persada.
http://contohmakalah.web.id/taarud-al-adillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar