Sabtu, 08 Desember 2012

ta'arudh al adillah n acara


MAKALAH
TA’ARUDH AL ADILLAH DAN CARA PENYELESAIANNYA
Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh II



Dosen Pembimbing:
Jamhuri, M.PdI

Nama Anggota:
Zainuri
NIM 2011.86.22.0014

Emiliya Mukmilah
NIM 2011.86.22.0004



PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS YUDHARTA PASURUAN
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan satu dengan yang lain.
Islam adalah agama yang memiliki hukum yan kontratietas antara yang satu dengan yang lain sehingga banyak ulama-ulama yang menyimpulkan hukum dengan pemikirannya sendiri tapi semua itu tidak lepas dari dasar yang awal atau dari asal mula hukum tersebut seperti halnya dalam membahas ushul fiqih kita mungkin bahkan sering menemukan ke kontratietas tersebut.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena faktor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Ta’arud Al-Adillah?
2.      Bagaimana cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah?
1)      Menurut Hanafiyah
2)      Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah

1.3  Tujuan Masalah
1.      Mengetahui definisi dari Ta’arud Al-Adillah
2.      Mengetahui cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
1)      Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Hanafiyah
2)      Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Ta`ârudh al-adillah
Secara etimologi, ta'ârudh berarti "pertentangan" dan adillah adalah jamak dari dalil yang berarti "alasan, argumen dan dalil." Persoalan ta'ârudh al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqh, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh tentang ta'ârudh al-adillah:
1)      Imam al-Syaukani, mendefinisikannya dengan "suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu."
2)      Kamal ibn al-Humam (790-861 H/1387-1456 M.) dan al-Taftazani (w. 792 11.), keduanya ahli fiqh Hanafi, mendefinisikannya dengan "pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi antara kedua­nya."
3)      Ali Hasaballah (ahli. ushul fiqh kontemporer dari Mesir) mendefinisikannya dengan "terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat". Pengertian satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara Sunnah dengan Sunnah.

2.2  Cara penyelesaian Ta`ârudh al-adillah
Apabila dhahir (formal)-nya dua nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar diantara cara-cara mengumpulkan dan mengkompromikan dua nash yang kontradiksi. Jika tidak mungkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan cara diantara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui sejarah datangnya, maka ditangguhkan dua nash itu.
Apabila dua qiyas atau dua dalil yang bukan termasuk dua nash yang bertentangan, dan tidak mungkin mengutamakan salah satunya, maka dihindarilah mengambil dalil kedua qiyas atau kedua dalil itu. Kontradiksi diantara dua hal, artinya menurut bahasa arab, ialah kontradiksi salah-satu diantaranya kepada yang lain.dan kontradiksi dua dalil syara’, artinya menurut istilah ulama ushul ialah penetuan dari salah satunya dalam waktu terhadap suatu peristiwa, atas hukum yang bertentangan dengan hukum yang ditentukan oleh dalil lain mengenai peristiwa itu.
Kontradiksi antara dua dalil syara’ tidak akan terjadi kecuali apabila dua dalil itu sama kuatnya. Adapun salah satu dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti ialah hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat, dan diabaikanlah huikum yang kontradiksi dengannya yang dikehendaki oleh dalil lain. Dengan Demikian tidak akan terjadi kontradiksi antara nash qoth’i dan zhonni, antara nash dan ijma’ atau qiyas, dan antara ijma’ dan qiyas. Kontradiksi itu dapat terjadi antara dua ayat, atau dua hadits yuang mutawatir, atau antara ayat dan hadits mutawatir, atau dua hadits yang tidak mutawatir, dan atau antara dua qiyas.
Apabila seorang mujtahid menemukan adanya dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara penyelesaiannya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi'iyyah.
1.      Menurut Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara:
1)      Nasakh
Naskh adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan adanya dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainnya, maka yang ia ambil adalah dalil yang datang kemudian.
Dalam kasus pertentangan ayat yang berbicara tentang ‘iddah wanita di atas,misalnya, menurut Jumhur ulama, ‘Abdullah ibn Mas’ud (sahabat) meriwayatkan bahwa ayat kedua, yaitu yang menyatakan bahwa ‘iddah wanita hamil sampai melahirkan (al-Thalaq, 65: 4),datang kemudian dibanding ayat dalam surat al-Baqarah, 2: 234 yang menyatakan bahwa wanita kematian suami ‘iddahnya 4 bulan 10 hari. Oleh sebab itu, ayat 4 suratal-Thalaq me-naskh-kan (membatalkan) hukum 4 bulan 10 hari untuk wanita hamil yang tercantum dalam ayat 234 suratal-Baqarah.
2)      Tarjih
Tarjih adalah menguatkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan tersebut berdasarkan beberapa indikasi yang dapat mendukungnya. Apabila masa turunnya/datangnya kedua dalil tersebut tidak diketahui, maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap salah satu dalil, jika memungkinkan. Akan tetapi, dalam melakukan tarjih itu pun mujtahid tersebut harus mengemukakan alasan-alasan lain yang membuat ia menguatkan satu dalil dari dalil lainnya. Tarjih itu, bisa dilakukan dari tiga sisi:
A.    Penunjuk kandungan lafal suatu nash. Contohnya, menguatkan nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-naskh-kan (dibatalkan) dari mufassar (hukumnya pasti tetapi masih bisa di-naskh-kan).
B.     Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
C.     Dari sisi keadilan periwayat suatu hadits.

3)      Al-Jam'u wa al-Taufiq
Al-Jam'u wa al-Taufiq yaitu mengumpulkan dalil-dalil yang bertentangan itu kemudian mengkompromikannya. Apabila dengan cara tarjih pun tidak bisa diselesaikan, maka menurut ulama Hanafiyyah dalil-dalil itu dikumpulkan dan dikompromikan. Dengan demikian, hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fiqh mengatakan, "mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain." Misalnya:



Artinya :
“ diharamkan bagi kamu bangkai dan darah....” (QS. al-Maidah ayat 3)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Kemudian dalam ayat lain lebih dispesifikan, Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

Artinya :
“.....kecuali ( yang diharamkan itu ) bangkai dan darah yang mengalir...” ( Al-An’am : 145 ).
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
4)      Tasaqu al Dalalain
Tasaqu al Dalalain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Metode ini digunakan mujtahid ketika ketiga metode sebelumya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut. Dengan mengguakan metode ini, berarti mujtahid menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan ia mencacri dalil lain yang secara kualitas berada dibawah dalil yang bertentangan itu. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai dengan cara keempat.
Tegasnya, apabila bertentangan ayat al Qur’an dengan ayat al Qur’an lalu keduanya tidak bisa dinaskh atau ditarjih atau dikompromikan, maka mujtahid boleh beralih kepada dalil yang kualitasnya dibawah al Qur’an, yaitu hadits. Apabila bertentangan hadits dengan hadits, seorang mujtahid dapat beralih mengambil pendapat sahabat atau menggunkan qiyas bagi yang tidak memakai pendapat sahabat sebagai dalil.
Adapun contoh penggunaan metode ini dapat diamati dari kaifiyat shalat khusuf. Bahwa Nabi SAW. melakukan shalat khusuf sebagaimana kamu melakukan shalat sunat biasa, yaitu dengan satu rakaat dengan satu kali sujud (HR. Abu Daud dan Nasa’i), dalam hadits lain dicontohkan nabi SAW melalui sunnah fi’liyyah tentang cara shalat khusuf; Bahwa Rasulullah SAW, melakukan shalat khusuf dua rakaat dengan empat kali ruku’ dan empat kali sujud (HR. Imam yang Enam)
Dalam hadits ini tak ada murajjih (menguatkan) salah satu dari kedua hadits itu. Ulama’ Hanafi tidak memakai kedua hadits ini, tetapi mereka menggunakan qiyas untuk menetapkan tata cara shalat khusuf. Mereka mengqiyaskan pelaksanaan shalat kusuf kepada shalat-shalat lainnya.
2.      Menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah, dan Zhahiriyyah adalah sebagai berikut:
1)      Jam'u wa al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut; sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqh yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu "mengamalkan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu diantaranya." Mengamalkan kedua dalil; sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
A.    Apabila keduahukum yang bertentangan itu bias dibagi, maka dilakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang saling menyatakan bahwa rumah “A” adalah miliknya maka kedua pernyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, karena barang yang dipersengketakan adalah barang yang bias dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumahtersebut.
B.     Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah saw. yang menyatakan:

Artinya:
Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. (H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal)
Dalam hadits ini ada kata "la" yang dalam ushul fiqh mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti "tidak sah," bisa berarti "tidak sempurna" dan bisa berarti "tidak utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain
C.     Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus 'iddah bagi wanita hamil di atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits di atas. Surat al-Baqarab, 2: 234 bersifat umum dan surat al-Thaldq, 65: 4 bersifat khusus, maka dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.

2)      Tarjih
Tarjih adalah menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan karena ada indikator yang mendukungnya. Metode ini digunakan mujtahid manakala pengkompromian antara dalil yang bertentagan tidak dapat dilakukan. Upaya mentarjih ini dapat dilakukan dengan empat cara; mentarjih dari sisi sanad, mentarjih dari sisi matan, mentarjih dari sisi hukum dan mentarjih dari sisi lain diluar nash. Mentarjih dari sisi sanad adalah khusus untuk menyelesaikan pertentangan dalil yang terjadi pada sunnah atau hadits. Sementara cara tarjih yang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi pada al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’.


3)      Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketahui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
Artinya:
Saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah. (H.R. Muslim).
Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan dilihat Nabi saw. tidak ada lagi.
4)      Tasâqut al-Dalîlain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.
Menurut ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
A.    Pertentangan antara Al-Qur’an dan Al-Qur’an. Ada yang memandang bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur’an, ada yang saling bertentangan, hal ini terjadi karena keterbatasan akal manusia. Padahal, tidak satupun ayat yang saling bertentangan, yang ada adalah ayat-ayat Allah saling menafsirkan atau saling menjelaskan.
B.     Petentangan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini adalah pandangan bahwa kedudukan Al-Qur’an harus sama dengan As-Sunnah, padahal tidak demikian. Yang harus ada bahwa As-Sunnah menjelaskan Al-Qur’an, dan Al-Qur’an kedudukanya lebih tinggi dari As-Sunnah. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada pertentangan dari keduanya, kecuali As-Sunnah yang kualitasnya lemah, baik dari segi sanad maupun matanya.
C.     Pertentangan antara As-Sunnah dan As-Sunnah.
D.    Pertentangan antara As-Sunnah dan akal.

















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Secara etimologi, ta'ârudh berarti "pertentangan" dan adillah adalah jamak dari dalil yang berarti "alasan, argumen dan dalil." Persoalan ta'ârudh al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqh, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
Secara terminologi, ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh tentang ta'ârudh al-adillah:
·         Imam al-Syaukani, mendefinisikannya dengan "suatu dalil menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan itu."
Apabila seorang mujtahid menemukan adanya dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara penyelesaiannya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyyah dan ulama Syafi'iyyah.
·         Menurut Hanafiyyah
Hanafiyyah mengutamkan metode naskh dari pada tarjih, al jam’u wa al taufiq dan tasyaq al dalilaini.
·         Menurut Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Zhahiriyyah
Mengutamakan metode Jam'u wa al-Taufiq, Tarjih, Naskh, Tasâqut al-Dalîlain.
Pertentangan dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut :
1.      Petentangan antara Al Qur’an dengan Al- Qur’an.
2.      Petentangan antara Al-Qur’an dan As-Sunnah.
3.      Pertentangan antara As-Sunnah dan As-Sunnah.
4.      Pertentangan antara As-Sunnah dan akal.


DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, 2004, Ushul Fiqh, Jakarta; Zikrul Hakim
Al Qatam, Manna Khalil, 2007, Mabahits fi Ulumil Qur’an, Bogor; PT Pustaka Linera Antar
Nusa,

Khallaf, Abdul Wahab, 1993, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta; Rajawali Pers.
Baidhhowi, Ahmad, 2005, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, Bandung;
Nuansa.

Usman, Muhlish, 1997, Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Jakarta; PT. Rajawali
Grafindo.

Al-Quran Al-Karim
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fikih II, Bandung : Pustaka Setia, 1998
Dr. H. Sidi Nazar Bakry. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 2003. Cet
ke 3.

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Firdaus. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif.
Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Imam Syafi’i. Ar-Risalah. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Prop.DR.Rachmat Syafe’i.2010.Ilmu Ushul Fiqh.Bandung:CP Pustaka.
Prop.DR.Muchlis Usman,2002.Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah:jakarta:raja Grafindo
Persada.

http://contohmakalah.web.id/taarud-al-adillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar